Semoga bisa kita praktekkan!
Kenapa Saya Gagal Mengubah Hidup
Kategori Individual
Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 11/16/2009
Isu Paling Dekat
Biasanya, sehabis melewati momen-momen yang kita anggap penting, seperti sehabis Lebaran, Natal, Tahun Baru, atau bahkan ulang tahun, kita memiliki planning untuk mengubah diri supaya lebih baik atau lebih dari yang kemarin, di hal-hal yang kita anggap utama, misalnya pekerjaan, keluarga, kualitas hidup pribadi, dan lain-lain.
Dipikir-pikir, memang kebiasaan semacam itu sudah pas. Sejumlah momen yang kita rayakan itu, pada umumnya mengandung pesan untuk melakukan perubahan. Sebut saja misalnya Idul Fitri. Id artinya kembali, sedangkan Fitri bisa diartikan suci, bersih, naluri, atau menang. Natal artinya lahir, symbol dari hidup baru. Secara naluri, memang kita ini pemenang atau bersih. Supaya kualitas itu terjaga selalu, tentu butuh pembaruan dan perubahan. Selain memang ada momen yang hakekatnya mengandung pesan untuk berubah itu, secara naluri pun kita punya suara dan dorongan batin yang sama. Mana ada sih manusia yang ingin melihat hidupnya tidak berubah? Pasti semua manusia ingin melihat ada perubahan yang terjadi dalam hidupnya, entah apa atau dalam hal apa.
Di samping itu, terkait dengan perubahan, ada kekuatan lain yang kerap memaksa orang untuk berubah, walaupun pada akhirnya kekuatan itu tetap menawarkan pilihan antara mau berubah atau tetap tidak berubah. Ini misalnya saja masalah atau problem yang kita hadapi sehari-hari. Sejatinya, ini menawarkan perubahan. Kalau kita gagal, kegagalan itu menyuruh kita mengubah diri, entah tekniknya, caranya, memilih momennya, dan lain-lain.
Kekuatan eksternal lain yang juga menawarkan perubahan adalah fase pertumbuhan alamiah yang harus kita lalui. Menurut ukuran normalnya, mau tidak mau kita akan berkeluarga, mau tidak mau kita akan jadi dewasa senior atau menjadi tua, dan seterusnya. Ini semua adalah fase pertumbuhan yang menawarkan perubahan, entah perubahan paradigma atau prestasi.
Dilihat dari penjelasan seperti di atas, berarti perubahan itu sebetulnya adalah isu yang paling dekat persoalan hidup manusia. Cuma, walaupun paling dekat, namun hubungan kita dengan makhluk yang bernama perubahan itu, seringkali tidak jelas dan mengandung sekian paradok. Buktinya, yang kita takuti justru perubahan, meski kita menginginkan perubahan. Yang tidak kita maui adalah mengubah diri, walaupun kita selalu berdoa agar ada perubahan dalam diri.
Apa yang Perlu Diaudit?
Meski perubahan itu isu paling dekat atau keinginan yang muncul pada ranking atas di pikiran manusia, tapi jika dilihat dari prakteknya, banyak orang yang kecewa atau malah patah semangat untuk berubah. Mungkin malu sama janji diri yang sudah ditulis ribuan kali di agenda, namun hasilnya menyebalkan; tak ada perubahan apapun. So, what’s the next? Kalau melihat hukum kehidupannya, jika ada kebaikan yang benar-benar kita inginkan, namun tak berjalan sesuai rencana, berarti ada sesuatu yang perlu kita audit ulang. Hal-hal yang perlu diaudit itu antara lain:
Pertama, menjalani proses. Meminjam istilah dalam ajaran Tao, kreasi manusia itu diciptakan oleh dua hal, yaitu: a) prinsip dan b) proses. Prinsipnya, jika kita ingin melihat ada perubahan dalam hidup kita, maka kita harus berubah. Prinsip ini tidak bisa diganggu-gugat, mutlak. Supaya perubahan itu terjadi, kita harus menjalani proses perubahan. Soal itu harus kontinyu atau tidak, berat atau ringan, radikal atau incremental, ini tergantung skala perubahan yang kita inginkan.
Dalam menjalani proses itu, ada pesan agama yang pas untuk kita ingat. Umumnya, sebelum kita melihat perubahan yang menyenangkan, kita akan diuji dengan beberapa hal yang kurang menyenangkan. Ujian itu dimaksudkan untuk membuktikan level kesabaran, kesungguhan, dan karakter (bukti diri); apakah kita hanya sekedar mengkhayalkan perubahan atau menjalani prosesnya.
Kedua, struktur langkah. Kalau meminjam istilah dalam manajemen, objek yang kita ingin ubah itu dikelompokkan menjadi dua, yaitu: a) Yang mudah diubah, dan b) Yang sulit diubah. Ingin mengubah nasib tidak bisa dipahami seperti kita ingin mengubah berhenti merokok. Secara teori, berhenti merokok itu mungkin hanya butuh tekad dan tindakan. Tapi, mengubah nasib tak cukup hanya itu. Butuh tekad, sikap mental, tindakan, pengetahuan, keahlian, lingkungan, dan itu berjalan secara kontinyu, tidak on-off.
Ketiga, menemukan kesesuaian. Hampir semua perubahan fundamental itu menghadapi keterbatasan, entah materi, finansial, orang yang kita kenal, atau keterbatasan yang muncul dari keadaan eksternal tertentu. Keterbatasan itu sejatinya tidak menuntut kita mundur (kecuali kita memilihnya), melainkan menuntut upaya untuk menemukan format perubahan yang benar-benar “gue banget”. Intinya, semua orang bisa menciptakan perubahan, asalkan menggunakan kreativitasnya untuk melihat dirinya dan lingkungannya.
Sinergi Antara Logika Dan Iman
Kalau melihat dari susahnya, memang mengubah diri itu banyak susahnya. Karena itu, secara motivasi, kita disarankan jangan melihat susahnya, melainkan melihat hasilnya. Bayangkan sesering mungkin keindahan hidup yang akan kita nikmati jika perubahan itu berhasil kita lakukan!
Supaya kita terus bisa membayangkan, biasanya tak cukup hanya bermodalkan kalkulasi logis, melainkan butuh kalkulasi iman, harapan optimisme, keyakinan, atau modal mental. Jika kita terus menghitung kesusahannya secara logika semata, bisa-bisa kita kalah perang dulu. Tapi jika kita hanya mengandalkan modal iman tanpa akal (logika), ini juga kurang sempurna proses dan hasilnya. Intinya, harus sinergis.
Kalkulasi logis itu kita butuhkan untuk menyikapi persoalan yang sifatnya harus diselesaikan dengan nalar. Misalnya kita butuh dana untuk perubahan. Tentu tak cukup hanya berdoa, melainkan perlu ada upaya yang berbasiskan nalar. Sedangkan kalkulasi iman itu sangat dibutuhkan untuk menyikapi persoalan yang sifatnya hanya bisa dijalani berdasarkan prinsip yang sudah mutlak benarnya, misalnya ketekunan, ketelatenan, komitmen pada yang baik, dan seterusnya.
Selama bulan puasa kemarin, sempat beberapa kali saya bertemu dengan seseorang yang punya jabatan publik sebagai bupati. Menurut kalkulasi nalar, orang ini tidak bisa sekolah, boro-boro jadi bupati. Dari umur 5 tahun, dia harus mencari makan sendiri dengan berjualan apa saja. Bahkan sempat mau ikut-ikutan ngamen di lampu merah. Di setiap jenjang pendidikan yang dilalui, selalu mendapatkan ancaman DO karena tidak bisa bayar. Cuma, kakeknya mengajarkan kalkulasi iman. “Kalau orang jahat saja dikasih jalan oleh Tuhan, masak kamu yang mau baik tidak dikasih?” Ini kalkulasi iman yang bisa ditiru. Entah prosesnya seperti apa, tapi prinsipnya, bapak ini lulus sampai S1. Bahkan sekarang ini sedang menyelesaikan S3-nya di universitas ternama di Jawa Barat.
Jangan Sampai Melemahkan Diri
Yang payah adalah ketika kita membias, mengada-ada atau terlalu menjadikan kesusahan sebagai pembenar untuk berhenti menginisiatifkan perubahan. Meminjam istilah dalam agama, manusia itu dikelompokkan menjadi dua. Pertama adalah orang yang melemahkan dirinya. Misalnya, kita ini sebetulnya punya kapasitas dan kesempatan untuk berubah karena ada sekian fasilitas yang bisa kita gunakan, entah di rumah, di kantor, atau dimana saja dan tidak ada juga orang yang melarang kita.
Namun, kitanya selalu membikin alasan yang mengada-ada, tidak punya inilah, tidak ada itulah, dan seterusnya. Padahal, semua itu adalah kemalasan kita sendiri. Orang semacam ini disebutnya orang yang menindas dirinya sendiri. Kepada malaikat, Tuhan menyuruh untuk menolak alasan-alasan yang mengada-ada itu.
Kedua adalah orang yang dilemahkan oleh kekuatan zalim. Misalnya pada saat era penjajahan dimana sekolah dibatasi, perpustakaan ditutup, perjuangan dikebiri, buku dibatasi, dan seterusnya. Ini namanya orang yang menindas orang lain. Doanya dikabulkan dan dosanya dimaafkan. Lebih-lebih jika orang itu tetap mau berjuang demi perubahan, meski dihimpit keterbatasan, seperti para pahlawan kita, seperti para penulis yang bisa menyelesaikan karyanya di penjara. Wah, ini luar biasa istimewanya.
Cuma, menurut kritiknya Tuhan, kebanyakan manusia itu suka menindas, entah kepada dirinya atau kepada orang lain, dan suka mengingkari nikmat. Buktinya cukup banyak. Misalnya, kita merasa sudah mati langkah untuk mengubah diri padahal tidak ada satu pun yang menghalangi kita untuk mengembangkan diri. Kita bebas cari informasi, bertanya ke siapa saja, belajar dengan cara apa saja, dan seterusnya. Kalau meminjam istilahnya Pak Bob Sadino, jangan sampai kita ini jadi orang yang cepat terkendala. Kita ingin jadi pengusaha, tapi tidak punya modal. Begitu dikasih modal, kita nyerah lagi karena karena kekurangan koneksi. Begitu dikasih koneksi, kita nyerah lagi, karena merasa tidak mudah mengelola koneksi itu, dan seterusnya dan seterusnya.
Ada ungkapan lama yang pas untuk kita ingat dalam kaitannya dengan bahasan kita ini. Kata ungkapan itu, hidup kita menjadi payah bukan karena ada banyak orang yang menjahati kita, tetapi lebih karena ada sekian ide kita yang melemahkan kita sendiri (menindas diri sendiri). Orang jahat memang bikin payah kita juga, tetapi sejauh kita tidak menindas diri sendiri, efek kejahatannya tidak sampai total.
Beberapa Modal Psikologis
Kalau mengikuti sarannya Paulo Coelho, penasehat spiritual UNESCO, lebih baik kita pernah gagal dan terus mengagendakan perubahan, ketimbang kita gagal karena tidak pernah menginisiatifkan perubahan, entah takut atau banyak alasan. Cuma, untuk hasil yang lebih baik, kita perlu memperbaiki modal psikologis guna mendapatkan berbagai modal yang kita inginkan.
Beberapa modal psikologi yang sudah sering kita bahas di sini antara lain: kreatif (banyak akal), percaya diri (meyakini bahwa kitalah yang bertanggung jawab atas nasib kita), memperbaiki pengelolaan stress (menggunakan ketidakpuasan untuk perubahan), membangun koneksi, menambah keahlian dan kesalehan, memunculkan komitmen intrinsik, memiliki motivasi yang tinggi, dan kesediaan untuk learning, baik itu secara generative atau adaptative.
Dengan semua modal itu, tidak berarti kesulitan akan hilang. Ini tidak realistis. Tapi, jika modal kita makin bagus, bantuan yang “tak terduga-duga” akan semakin mudah datang. Itulah kenapa banyak studi yang akhirnya menyimpulkan bahwa faktor penyebab kegagalan tertinggi dalam perubahan itu bukan hambatannya, keterbatasannya, atau kesulitannya, melainkan sikap mentalnya.
Sikap mental yang paling berperan menggagalkan adalah sikap “Yes I am, But I am”. Kita selalu mengatakan “Yes” ketika ditanya soal ingin berubah atau tidak. Setiap saat kita mendambakan perubahan. Tapi, giliran ditanya proses apa yang sudah kita jalani, selalu kita mengatakan “But I am”, atau ada sekian alasan yang kita kemukakan sebagai pembenar kenapa kita belum menjalaninya. Padahal, yang diperintahkan adalah begitu kita menginginkan perubahan-diri, nyatakan keinginan itu dengan tekad yang bulat (akan pasti kita jalankan), lalu bertawakal (menjalankan apa saja yang bisa kita jalankan lalu memasrahkan). Dengan cara ini, perubahan pasti terjadi, mungkin lebih baik, mungkin sama, atau mungkin baru sebagiannya.
Semoga bermanfaat.
Belajar Lebih Penting Daripada Bermain?
Kategori Anak
Oleh : Martina Rini S. Tasmin, SPsi
Jakarta, 7/29/2009
Arieeeeeeeef, kok masih juga main mobil-mobilannya, Mama kan sudah bilang dari tadi, kamu sekarang harus mengerjakan pr dari sekolah, sebentar lagi kan mau berangkat kumon.
Aaaah Mama, nanti dulu deh, Arief kan mainnya baru sebentar banget, belum selesai nih Ma. Ini kan ambulans, ambulansnya lagi antar Lala ke rumah sakit, nggak boleh berhenti di jalan harus cepat sampai, kalau brenti-brenti kan kasian Lalanya, nanti nggak cepat sembuh. Brem brem brem brem breemmmmmmmmm
Banyak orangtua mengatakan kalau anak-anaknya malas dan tidak mau disuruh belajar, maunya maiiiiiin saja dan nonton tv. Orangtua harus tarik urat kalau menyuruh anaknya belajar. Tapi di sisi lain justru bisa dilihat kalau anak masa sekarang justru lebih banyak belajar dibandingkan dengan masa kanak-kanak saya, misalnya. Sekolah-sekolah untuk anak-anak ada yang sudah dimulai dari anak umur 1,5 tahun (walaupun sekolah usia ini tentunya belum mulai belajar). Banyak TK yang menekankan kurikulumnya untuk mengajar anak membaca, menulis dan berhitung, bukan lagi sekedar bermain-main. Anak-anak SD bersekolah dengan waktu sekolah yang lebih panjang. Pulang sekolah anak masih mengikuti bermacam-macam les, misalnya kumon, sempoa, super brain, balet, piano dan komputer. Selain untuk sekolah dan les, anak-anak juga masih perlu waktu untuk mengerjakan pr, mandi, makan dan istirahat (tidur). Jadi kapan dong waktu anak-anak bermain? Jadi sebenarnya, apakah anak-anak memang malas belajar atau mereka kurang waktu bermain? Orangtua sekarang ini seringkali cukup ambisius terhadap anak-anaknya, mereka ingin anaknya sepintar mungkin, dan diwujudkan dengan mengikutkan anak pada berbagai macam les. Tidak salah kalau orangtua berharap anak sepintar mungkin, tapi kebutuhan anak untuk bermain jangan diabaikan, karena bermain adalah hal yang penting buat anak.
Apakah bermain itu?
Bermain tentunya merupakan hal yang berbeda dengan belajar dan bekerja. Menurut Hughes (1999), seorang ahli perkembangan anak, harus ada 5 unsur di bawah ini dalam suatu kegiatan yang disebut bermain:
1. Tujuan bermain adalah permainan itu sendiri dan mendapat kepuasan karena melakukannya (tanpa target), bukan untuk misalnya mendapatkan uang.
2. Dipilih secara bebas. Permainan dipilih sendiri, dilakukan atas kehendak sendiri dan tidak ada yang menyuruh ataupun memaksa.
3. Menyenangkan dan dinikmati.
4. Ada unsur kayalan dalam kegiatannya.
5. Dilakukan secara aktif dan sadar.
Di luar pendapat Hughes, ada ahli-ahli yang mendefinisikan bermain sebagai apapun kegiatan anak yang dirasakan olehnya menyenangkan dan dinikmati (pleasurable and enjoyable). Bermain dapat menggunakan alat (mainan) ataupun tidak. Hanya sekedar berlari-lari keliling di dalam ruangan, kalau kegiatan tersebut dirasakan menyenagkan oleh anak, maka kegiatan itupun sudah dapat disebut bermain.
Apakah bermain penting?
Papalia (1995), seorang ahli perkembangan manusia mengatakan bahwa anak berkembang dengan cara bermain. Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Dengan bermain anak-anak menggunakan otot tubuhnya, menstimulasi indra-indra tubuhnya, mengeksplorasi dunia sekitarnya, menemukan seperti apa lingkungan yang ia tinggali dan menemukan seperti apa diri mereka sendiri. Dengan bermain anak-anak, menemukan dan mempelajari hal-hal/keahlian baru (dan belajar {learn} kapan harus menggunakan kemampuan tersebut) serta memuaskan apa yang menjadi kebutuhannya (need). Lewat permainan, fisik anak akan terlatih, kemampuan kognitif dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain akan berkembang.
Apa untungnya kalau anak bermain?
Membaca uraian tentang pentingnya bermain, orangtua mungkin berpikir hal-hal tersebut di atas bisa didapatkan anak dengan cara belajar (study). Malah dengan belajar anak bisa pintar, kalau main terus-terusan anak tidak bisa pintar. Pendapat ini ada benarnya juga, terutama jika kepintaran hanya berhubungan dengan kemampuan akademis seperti membaca, menulis dan berhitung. Tapi dalam kehidupan sehari-hari, kepintaran bukan hanya sekedar membaca, menulis dan berhitung, dan juga kemampuan akademis bukan satu-satunya hal yang penting dan dibutuhkan. Ada hal lain yang penting dan dibutuhkan, misalnya kemampuan berkomunikasi, memahami cara pandang orang lain dan bernegosiasi dengan orang. Hal-hal tersebut tidak bisa didapatkan dengan belajar. Perasaan senang, menikmati, bebas memilih dan lepas beban karena tidak punya target, juga tidak bisa didapatkan dari kegiatan belajar.
Ketika bermain, anak berimajinasi dan mengeluarkan ide-ide yang tersimpan di dalam dirinya. Anak mengekspresikan pengetahuan yang dia miliki tentang dunia dan kemudian juga sekaligus bisa mendapatkan pengetahuan baru, dan semua dilakukan dengan cara yang menggembirakan hatinya. Tidak hanya pengetahuan tentang dunia yang ada dalam pikiran anak yang terekspresikan lewat bermain, tapi juga hal-hal yang ia rasakan, ketakutan-ketakutan dan kegembiraannya. Orangtua akan dapat semakin mengenal anak dengan mengamati ketika anak bermain. Bahkan lewat permainan (terutama bermain pura-pura/role-playing) orangtua juga dapat menemukan kesan-kesan dan harapan anak terhadap orangtuanya dan keluarganya. Bermain pura-pura menggambarkan pemahamannya tentang dunia dimana ia berada.
Kreativitas anak juga semakin berkembang lewat permainan, karena ide-ide originallah yang keluar dari pikiran anak-anak, walaupun kadang-kadang terasa abstrak bagi orangtua.
Tidak hanya orangtua yang mengalami stres, anak-anak juga bisa. Stres pada anak dapat disebabkan oleh beban pelajaran sekolah dan rutinitas harian yang membosankan. Bermain dapat membantu anak untuk lepas dari stres kehidupan sehari-hari.
Jadi apakah anak saya masih perlu bermain?
Tentu saja sudah jelas jawabannya bahwa anak perlu bermain. Mungkin yang dikawatirkan orangtua adalah kalau anak terlalu banyak bermain dan tidak mau belajar. Kembali kepada ilustrasi awal, yang perlu dipastikan adalah apakah anak masih punya waktu bermain, setelah kegiatan belajar yang padat. Kalau memang sebenarnya anak punya waktu bermain, lalu berlanjut terus hingga tidak mau belajar, maka masalahnya adalah bagaimana kita memotivasi anak agar mau belajar. Hal memotivasi anak belajar tidak akan dibicarakan dalam artikel ini.
Saran bagi orangtua:
- Pastikan dalam jadwal kesibukan anak sehari-hari, masih terdapat waktu luang yang cukup untuk anak bermain.
- Sesekali ikut bermain bersama anak, pahami dirinya, kegembiraan, ketakutan dan kebutuhannya. Siapa tahu setelah itu tidak lagi menjadi orangtua yang terlalu ambisius.
- Mendukung kreativitas permainanan anak, sejauh apa yang diperbuat anak dalam permainan bukanlah perbuatan yang kurang ajar, tidak merugikan, menyakiti dan membahayakan diri sendiri dan orang lain.
- Membimbing dan mengawasi anak dalam bermain, tapi tidak over-protective. Anak mungkin tidak tahu kalau apa yang dilakukannya dalam permainan adalah perbuatan yang salah, karena itu mereka perlu dibimbing. Tapi jangan bersikap over-protective sampai menghalangi kebebasannya. Misalnya, kalau anak bermain lari-larian dan pernah terjatuh adalah wajar, jadi tidak perlu melarang anak bermain lari-lari karena takut anak jatuh. Tapi kalau anak mengebut ketika bermain sepeda, tentunya perlu dilarang karena berbahaya.
Sekalipun dunia bermain adalah dunia anak-anak, tapi anak membutuhkan peran orangtua untuk dapat berada dalam dunianya itu secara aman dan nyaman. Dengan bermain, tidak hanya anak merasa senang dan bahagia ketika melakukannya; tapi dengan bimbingan yang tepat dari orangtua, potensi diri anak juga dapat berkembang, anak dapat menjadi pintar lewat sarana permainan. Anak senang dan orangtua bahagia.
Menyepi dan Kesepian
Kategori Sosial
Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 10/21/2009
Emosional & Sosial
Baik dalam teorinya dan prakteknya, ternyata ada sedikit perbedaan antara orang yang kesepian dan orang yang sedang menghadapi keadaan sepi. Misalnya saja orang-orang di rumah kita sedang mudik ke kampung pada saat lebaran. Dari yang asalnya ramai lantas tiba-tiba sepi, tidak ada suara canda dan tangisan. Pada saat itu, bisa jadi kita hanya menghadapi keadaan yang tidak ramai di rumah atau sendirian, tapi belum tentu pas untuk disebut orang kesepian. Merasa kesepian bisa terjadi pada saat keadaan ramai atau sepi. Kesepian lebih terkait dengan persoalan losing relationship atau connectedness atau persoalan jiwa / batin.
Kalau membaca bukunya Donelson R. Forsyth (Social Psychology: 1987), di sana ada istilah kesepian sosial dan kesepian emosional. Kesepian sosial terjadi ketika kita mengalami kesepian karena hubungan personal yang terlalu sedikit atau tidak memuaskan sehingga kita merasa tidak happy atau satisfied. Contoh di atas bisa disebut juga kesepian sosial. Kesepian model ini bersifat sementara dan tidak akan membahayakan sejauh kesepian itu di kelola secara positif.
Hal perlu kita waspadai adalah munculnya kesepian emosional. Kesepian emosional terjadi ketika kita merasa hidup ini kurang punya arti / makna (contented), atau tidak memiliki hubungan yang membahagiakan. Situasi ini kemungkinan terjadi saat seseorang mengalami putus cinta, perceraian, atau gagal dalam mencapai sesuatu, misalnya gagal menjadi anggota dewan, dan lain-lain sehingga muncul perasaan “telah dihempaskan”.
Jika tidak segera ditemukan penyiasatan batin yang kreatif, sangat mungkin akan memunculkan reaksi emosi yang kurang mendukung kesehatan jiwa. Bentuknya antara lain:
1. Desperation (keputusasaan): mudah panik, merasa putus asa, merasa disingkirkan
2. Boredom (kebosanan): tidak sabaran, malas-malasan, atau khawatir
3. Deprecation (mencela diri): merasa tidak menarik, malu, merasa tidak percaya diri
4. Depression (depresi): merasa kosong, sedih, tertekan
Dalam beberapa kasus, apa yang disebut dengan reaksi emosi itu tidak saja memberikan efek negatif pada tingkat hubungan kita dengan diri sendiri. Hubungan kita dengan orang lain pun seringkali terkena imbasnya. Misalnya, tidak sabaran akan membuat kita sulit bertoleransi, mudah merasa disingkirkan, akan membuat kita suka menuntut perhatian yang istimewa, dan seterusnya. Ini kerap menganggu hubungan kita dengan orang lain.
Mewaspadai Rasa Malu
Kalau bicara rasa malu, mungkin semua orang punya. Cuma, rasa malu itu bermacam-macam sehingga perlu kita audit. Ada rasa malu yang sangat positif dan sangat dianjutkan. Bahkan oleh agama disebut sebagai cabang keimanan. Jika kita tidak malu lagi mendemonstrasikan perbuatan yang tidak senonoh, tidak sewajarnya, tidak sepatutnya, berarti iman dalam diri kita belum ada cabangnya.
Ibarat pohon, kalau cabangnya belum tumbuh, mungkin buahnya juga masih lama diharapkan muncul. Rasa malu seperti ini bisa disebut sebagai ketajaman sensitivitas moral, yang sering disebut sebagai kekayaan bangsa yang telah mulai punah, karena tergerus oleh nafsu kepentingan materialisme pribadi. Hilangnya rasa malu seperti ini sangat berpotensi membuat orang bertindak “suka-suka gue dong”.
Apa yang dilakukan oleh almarhum Presiden Korea yang beberapa bulan lalu bunuh diri karena program pemberantasan korupsinya dilanggar oleh keluarga sendiri, begitu menurut pemberitaan media, bisa punya makna ganda jika dilihat dari sini. Bunuh diri itu negatif menurut standar ajaran manapun. Tetapi, kata tulisan dalam buku Handbook of Marriage and Couples (Edited by: W. Kim Halford, dkk: 1977)
“…..in practical life, not all negatives are negative”
Artinya, jika dilihat dari komitmen rasa malu moral, maka pelajarannya menjadi positif. Sisanya, Tuhanlah yang menilai.
Ada lagi rasa malu yang masih normal atau tidak disebabkan oleh hal-hal yang terkait dengan rendahnya moral dan juga tidak memberikan efek yang membahayakan. Misalnya kita termasuk orang yang tidak terlalu biasa bertemu dengan orang lawan jenis lebih dari satu, tidak biasa berbicara di depan publik, tidak biasa berjoget, dan seterusnya. Mungkin ini bisa disebut rasa malu mental. Sejauh kita menginginkan itu bisa dikurangi, maka latihan dan pergaulan akan bisa menyelesaikannya.
Yang terkait dengan bahasan kita ini adalah rasa malu karena merasa tidak sukses atau tidak kaya atau tidak hebat. Pelampiasannya bermacam-macam, misalnya tidak mau mudik ke kampung, tidak mau bertemu teman sealmamater, menghilang dari peredaran, pergi ke luar negeri atau merantau ke tempat yang jauh. Ini pun tidak bisa langsung dihakimi positif atau negatif. Jika itu kita jadikan sebagai pemacu diri, pemerkuat komitmen untuk program pencapaian diri, dalam batas yang masih bisa dikontrol atau sebagai siasat diri semata, mungkin itu masih ada positifnya, walaupun barangkali itu ada yang menyalahkan atau menyayangkan. Seperti kata ungkapan di muka, “In practical life, not all negatives are negative.”
Tapi, jika kita hanya berhenti pada merasakan rasa malu saja (menanggung beban malu), tidak ada program yang kita perjuangkan, tidak ada letupan emosi yang kita ledakkan menjadi motivasi, maka rasa malu seperti inilah yang perlu kita hentikan / waspadai. Jangan-jangan itu muncul karena kita tidak merasa meaningful, contented dan satisfied dengan keadaan diri atau kesepian?
Mengatasi Kesepian
Baik kesepian sosial dan emosional, keduanya masih bisa diatasi, minimalnya dikurangi, asalkan ada proses yang kita jalani. Kalau merujuk ke saran-saran Donelson R. Forsyth dan juga pengalaman banyak orang, proses yang dibutuhkan itu antara lain adalah:
Buatlah program pengembangan diri yang benar-benar bisa kita capai dan itu menurut kita akan membuat hidup kita lebih bermakna (standar prestasi)
Jalankan prosesnya secara terus menerus sesuai keadaan kita. Seimbangkan antara mengejar target dan kepasrahan pada Tuhan
Lakukan usaha yang bisa mendukungnya, misalnya membaca buku, bergaul dengan orang yang bisa membuka jalan, dan seterusnya
Mulailah berpikir secara spiritual atau tentang makna hidup, terutama terhadap hal-hal yang tidak kita inginkan, misalnya gagal, musibah, dst
Perbanyak kebaikan pada orang lain, misalnya menolong, mengunjungi, dll, untuk mengundang datangnya kebaikan yang tidak disengaja.
Jika itu bisa kita lakukan, lama kelamaan akan muncul kualitas hubungan yang berarti antara kita dengan diri sendiri sehingga dapat mengurangi munculnya kesepian emosional. Adapun untuk mengatasi kesepian sosial, kita bisa menjalankan saran-saran di bawah ini:
Menambah kontak sosial dengan tetangga, di kantor atau di organisasi sosial.
Menjalankan kegiatan tambahan yang tidak mengundang persoalan, misalnya menonton film, membaca buku, atau mencari bahan yang berguna di internet
Memperbaiki penampilan fisik supaya lebih pede dalam bergaul, misalnya menjadi lebih bersih, pakaian yang lebih mendukung, dan seterusnya.
Menjalin hubungan yang lebih dalam terhadap orang-orang sekitar, tidak sekedar say hello
Memunculkan cinta baru. Hilangnya cinta itu bukan karena ada orang lain yang mengambilnya, tetapi karena kita tidak memunculkan yang baru.
”Hilangnya cinta itu bukan karena ada orang lain yang mengambilnya,
tetapi karena kita tidak memilikinya.”
Bagaimana Dengan Menyepi?
Menyepi itu bukanlah semata praktek fisik, tetapi lebih ke praktek mental-spiritual yang sangat dibutuhkan atau sangat positif. Menyepi dapat didefinisikan sebagai sebuah kesadaran untuk berdialog dengan diri, tentang diri sendiri, terhadap diri sendiri, pada saat kita sendirian, self communicaton, self talk, self dialogue. Atau bisa juga dipahami sebagai kesadaran untuk merenung sendirian melalui perantara teks, misalnya melalui teks Kitab Suci, relaksasi, dan lain-lain. Menyepi ini bisa dilakukan dalam keramaian atau di tempat yang sepi yang telah kita pilih, tergantung mana yang enak buat kita.
Untuk kita yang hidup di era dan suasana industrialis, dimana sebagian besar waktu kita telah tergunakan untuk memenuhi tuntutan eksternal (target kantor, rapat, nongkrong, dst) atau untuk menanggung beban kekacauan sosial (kemacetan, dll), maka menyepi ini menjadi penting. Kalau tidak kita jalankan, konsekuensinya bisa kehilangan kontaks dengan diri sendiri.
Hilangnya kontak ke dalam diri dapat menimbulkan rendahnya kesadaran visi hidup, rendahnya pencernaan makna hidup (spiritual), dan motivasi positif. Bahkan sangat mungkin akan mengundang datangnya momen dimana yang kita tahu dari hidup kita hanyalah beban-bebannya saja, bukan pencapaiannya; kekurangannya saja, bukan kecukupannya. Itulah kenapa sampai ada semacam thesis bahwa yang membuat orang korup itu bukan tidak kaya, tetapi karena tidak connected dan tidak contented dengan the inner-self.
Orang-orang zaman dulu menggunakan kesadaran untuk menyepi ini untuk mendapatkan pencerahan baru, pemahaman baru, dan kesadaran baru, yang kemudian kita kenal dengan isitilah bersemedi, bertapa, dan lain-lain. Didukung dengan kemampuan membebaskan diri dari keterikatan dunia materi yang sangat terlatih, maka hasil menyepinya itu menjadi wisdom yang valid sampai sekarang.
Bahkan kalau melihat sejarah para nabi, menyepi ini juga kerap menjadi prosesi untuk menyambut datangnya wahyu, misalnya Nabi Musa dengan Lembah Tur Sina-nya, Nabi Muhammad dengan Gua Hira-nya, dan lain-lain. Sampai dalam berdoa pun ada keistimewaan sendiri untuk yang berdoa tengah malam (sepi dan menyepi) atau sebelum munculnya fajar dimana kebanyakan orang masih tidur.
”Yang membuat orang korup itu bukan tidak kaya,
tetapi karena tidak connected dan tidak contented dengan the inner-self. ”
Evaluasi Konstruktif
Target kita menyepi haruslah evaluasi konstruktif, entah untuk pribadi, organisasi, keluarga, atau masyarakat yang kita pimpin. Kalau bisa, kata seseorang yang belum lama ini akrab ngobrol dengan saya, pilihlah tempat yang membuat kita akrab dengan alam dan tumbuh-tumbuhan. Evaluasi konstruktif itu adalah berbagai catatan yang nantinya akan kita jadikan pedoman atau petunjuk untuk membuat hidup kita lebih tercerahkan, lebih matang, lebih kuat, lebih maju, dan seterusnya. Intinya, jangan membikin evaluasi destruktif atau catatan yang membuat hidup kita makin tidak jelas. Jika disederhanakan, dengan meminjam istilah dalam Spiritual Kejawen, target menyepi itu adalah 3W:
W 1 = Waskito (clear thinking): berpikir lebih jernih mengenai What’s next, apa yang akan kita lakukan, apa yang bisa kita lakukan, apa prioritas, dan seterusnya.
W 2 = Waspodo (alert): lebih tajam dalam merasakan resiko, akibat, bahaya, ancaman, potensi kegagalan, dan seterusnya.
W 3 = Wicaksono (wise): lebih bisa memahami kontradiksi, lebih bisa menempatkan diri pada posisi dan porsi, lebih fokus pada bagaimana menyikapi kenyataan, bukan mengutuk atau membiarkan.